PKS Belajar Politik Ke Turki dan Thailand
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempelajari proses pemilu di Turki awal Juni lalu serta Thailand pada akhir Juni dan awal Juli. Mereka mengunjungi kampanye sejumlah partai politik besar dan menyaksikan langsung prosesnya.
Sekretaris Majelis Pertimbangan Pusat PKS Mardani menyatakan, di kedua negara itu sangat anti terhadap politik uang. Masyarakat Turki tidak menerima politik uang atau sogokan karena pendapatan per kapita mencapai 12 ribu dolar AS. “Jadi, ikut pemilu bukan karena ingin mendapatkan uang, melainkan memang karena panggilan jiwa untuk memperbaiki negara,” ujarnya di Ramkhamhaeng, Bangkok, Thailand, Sabtu (2/7).
Sementara di Thailand, ia menjelaskan, ribuan pendukung golongan putih (golput), atau yang dikenal masyarakat Thailand sebagai Partai Kuning, diperkirakan tidak terlibat dalam politik uang. “Mereka tetap harus mengikuti pemilu dan memilih,” jelas Mardani.
Dalam kertas suara tercantum satu pilihan ‘tidak memilih’. Ia melihat cara ini sangat bagus untuk mencegah jual beli suara.
Politik uang juga dilarang di Thailand berdasarkan perundang-undangan. Sementara itu, politik uang masih marak di Indonesia. “Mereka yang tidak menggunakan uang, tidak akan memenangi pemilu,” kata Mardani. Dia menilai, fenomena tersebut terus terjadi karena perundang-undangan yang tidak menindak tegas pelaku politik uang.
Ketua Badan Pengembangan Kepemimpinan Dewan Pengurus Pusat PKS, Dwi Triyono, menyatakan, Indonesia harus banyak belajar dari pengalaman politik di Thailand. Ia menyatakan, tanpa adanya pembelajaran politik negara lain, Indonesia akan sulit berkembang.
“Partai harus mampu menanamkan idealisme kepada kader dan simpatisannya,” ujar Dwi. Proses ini sangat dibutuhkan agar terlihat perbedaan antara kader yang ingin membangun bangsa dan kader karbitan yang hanya sekadar menginginkan fasilitas negara.
Petinggi Pusat Keislaman Thailand, Jalaluddin, mempersilakan anggota PKS mempelajari politik di negerinya. Dia menyatakan, belum tentu politik di negerinya lebih baik. “Ambil saja yang baik. Yang buruk harap ditinggalkan,” katanya menjelaskan.
Sekretaris Majelis Pertimbangan Pusat PKS Mardani menyatakan, di kedua negara itu sangat anti terhadap politik uang. Masyarakat Turki tidak menerima politik uang atau sogokan karena pendapatan per kapita mencapai 12 ribu dolar AS. “Jadi, ikut pemilu bukan karena ingin mendapatkan uang, melainkan memang karena panggilan jiwa untuk memperbaiki negara,” ujarnya di Ramkhamhaeng, Bangkok, Thailand, Sabtu (2/7).
Sementara di Thailand, ia menjelaskan, ribuan pendukung golongan putih (golput), atau yang dikenal masyarakat Thailand sebagai Partai Kuning, diperkirakan tidak terlibat dalam politik uang. “Mereka tetap harus mengikuti pemilu dan memilih,” jelas Mardani.
Dalam kertas suara tercantum satu pilihan ‘tidak memilih’. Ia melihat cara ini sangat bagus untuk mencegah jual beli suara.
Politik uang juga dilarang di Thailand berdasarkan perundang-undangan. Sementara itu, politik uang masih marak di Indonesia. “Mereka yang tidak menggunakan uang, tidak akan memenangi pemilu,” kata Mardani. Dia menilai, fenomena tersebut terus terjadi karena perundang-undangan yang tidak menindak tegas pelaku politik uang.
Ketua Badan Pengembangan Kepemimpinan Dewan Pengurus Pusat PKS, Dwi Triyono, menyatakan, Indonesia harus banyak belajar dari pengalaman politik di Thailand. Ia menyatakan, tanpa adanya pembelajaran politik negara lain, Indonesia akan sulit berkembang.
“Partai harus mampu menanamkan idealisme kepada kader dan simpatisannya,” ujar Dwi. Proses ini sangat dibutuhkan agar terlihat perbedaan antara kader yang ingin membangun bangsa dan kader karbitan yang hanya sekadar menginginkan fasilitas negara.
Petinggi Pusat Keislaman Thailand, Jalaluddin, mempersilakan anggota PKS mempelajari politik di negerinya. Dia menyatakan, belum tentu politik di negerinya lebih baik. “Ambil saja yang baik. Yang buruk harap ditinggalkan,” katanya menjelaskan.
Post a Comment