Darurat Ketimpangan Ekonomi
Di
suatu pagi tahun 1921, Sukarno muda-yang saat itu masih kuliah-tiba-tiba ingin
berkeliling naik sepeda menyusuri daerah selatan Kota Bandung. Dalam
perjalanannya, Proklamator itu bertemu dengan seorang petani.
Terjadilah dialog antara keduanya, seperti
tertuang dalam buku
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat-nya Cindy Adams.
"Siapa pemilik tanah ini?" tanya Bung
Karno. "Saya Tuan," jawab petani. "Apakah kau miliki ini
bersama-sama dengan orang lain?" "Tidak Tuan. Saya memilikinya
sendiri." "Apakah kau membelinya?" "Tidak Tuan, saya
dapatkan dari warisan orang- tua." "Hasil pertanianmu untuk
siapa?" "Untuk saya Tuan."
"Apakah cukup untuk kebutuhanmu?"
Dengan mengangkat bahu sebagai tanda kecewa, sang petani menjawab,
"Bagaimana mungkin sawah yang begini sempit lahannya bisa mencukupi
kebutuhan istri dan empat orang anak?" Di akhir dialog, Bung Karno
menanyakan siapa namanya, kemudian dijawab, "Marhaen!" Sejak saat
itulah Bung Karno menjadikan Marhaenisme sebagai ideologi perjuangannya.
Cerita tentang Marhaen ternyata masih relevan
dengan kondisi kekinian. Jika saja Bung Karno masih hidup, mungkin wajahnya
murung meratapi nasib rakyatnya yang masih dalam kubangan kemiskinan meski
sudah 70 tahun merdeka. Yang cukup menyedihkan, ketimpangan ekonomi justru kian
menjadi-jadi.
Coba kita lihat bagaimana indeks ketimpangan
distribusi pendapatan melaju pesat. Di tahun 2000, rasio gini kita masih di
angka 0,30, tetapi pada 2014 sudah menembus 0,41. Di daerah perkotaan, rasio
gini bahkan mencapai 0,47. Secara khusus Bank Dunia pada 2015 mencatat laju
peningkatan ketimpangan ekonomi di Indonesia termasuk paling tinggi di Asia
Timur.
Dalam hal distribusi aset lebih memprihatinkan.
Rasio gini penguasaan lahan mencapai angka 0,72. Angka ini lebih tinggi
daripada rasio gini pendapatan. Badan Pertanahan Nasional bahkan mencatat, 56
persen aset berupa tanah, properti, dan perkebunan hanya dikuasai oleh sekitar
0,2 persen penduduk. Ironis!
Agenda
nasional
Mengatasi
darurat ketimpangan ekonomi harus jadi agenda nasional. Pemerintah dan seluruh
elite negeri ini tidak boleh menutup mata. Ketimpangan ekonomi yang kronis akan
jadi faktor pendorong revolusi sosial, politik, dan krisis ekonomi.
Kita harus belajar dari krisis Musim Semi Arab
di Timur Tengah dan krisis keuangan global 2008. Kedua peristiwa itu contoh
gagalnya negara-negara mengatasi ketimpangan ekonomi.
Ketimpangan ekonomi juga pemicu meledaknya
krisis keuangan global terburuk dalam sejarah perekonomian dunia pasca depresi
besar 1930. Adalah Raghuram Rajan dari Universitas Chicago dan mantan Kepala
Ekonom IMF yang pertama kali mengutarakan analisis tajamnya bahwa krisis
keuangan global 2008 dipicu tingginya ketimpangan ekonomi di AS. Ketimpangan
ini mendorong Pemerintah AS bersama Kongres, Bank Sentral AS, lembaga rating, dan
bankir investasi secara gegabah berbondong-bondong menawarkan skema investasi
properti berupa subprime
mortgage, yang ternyata jadi bom waktu jatuhnya pasar keuangan AS
dan negara maju lainnya.
Senada dengan Rajan, Joseph Stiglitz, ekonom
peraih Nobel Ekonomi dari Universitas Columbia, menggarisbawahi bahwa
ketimpangan ekonomi tak hanya merusak sistem keuangan AS dan negara maju, juga
melumpuhkan institusi-institusi demokrasi, seperti partai politik, legislatif,
eksekutif, dan yudikatif.
Darurat ketimpangan ekonomi menyebabkan
demokrasi dibajak oleh kaum oligarki. Mereka akan membuat kebijakan yang hanya
menguntungkan dan melanggengkan kekuasaan serta kepentingan ekonomi mereka dan
kroni-kroninya. Selain itu, tingginya ketimpangan ekonomi akan menyebabkan
masyarakat mengalami ketidakpercayaan baik secara vertikal maupun horizontal.
Ada kecemburuan antarsesama dan kemarahan kepada elitenya karena telah
menyuguhkan dunia yang timpang. Di saat yang sama, masyarakat yang terbelah
akan mengancam kohesi sosial dan menghancurkan sendi-sendi bangunan kepercayaan
sebuah negara-bangsa. Sebab, darurat ketimpangan akan menciptakan darurat rasa
ketidakadilan.
Transformasi
struktural
Ketimpangan
ekonomi yang terjadi di republik ini adalah masalah struktural. Ini buah dari
kebijakan negara yang salah arah. Perlu ada transformasi struktural untuk
memperbaikinya.
Transformasi struktural adalah kebijakan
keberpihakan dari negara untuk menciptakan struktur perekonomian yang
memberikan rasa keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan tersebut
tecermin dari empat hal: distribusi pendapatan, kekayaan/aset, kesempatan, dan
kewilayahan yang berkeadilan.
Siapa yang harus memulai terlebih dulu?
Pemerintah!
Kebijakan redistribusi aset seperti reforma
agraria harus tegas memihak kepentingan publik, terutama kalangan rumah tangga
petani yang termarjinalkan. Pemerintah harus berani memberikan batasan
penguasaan aset dan sumber daya perekonomian nasional. Sangat tidak bijak jika
para pemodal mengeksploitasi aset-aset republik ini demi mengejar pertumbuhan
ekonomi yang semu. Tidak ada guna pertumbuhan yang tinggi jika yang menikmati
kue perekonomian nasional hanya kalangan the
haves dan meninggalkan kelompok the
have nots.
Dari sisi kebijakan fiskal dan moneter, harus
dibuat semacam big
push policy yang bisa menggerakkan sektor-sektor informal produktif
dari masyarakat menengah-bawah agar terakselerasi kemampuannya dan bisa naik
kelas. Desain sistem insentif lembaga keuangan harus berpihak pada mayoritas
masyarakat menengah-bawah yang justru kurang tersentuh. Sekitar 60 persen
masyarakat kita bekerja di sektor informal. Karena itu, transformasi struktural
harus mampu mengubah informalitas ekonomi jadi formalitas ekonomi. Pemerintah
harus lebih mengutamakan investasi pada sisi intangible
asset dibandingkan
tangible asset. Kebijakan anggaran pemerintah harus berorientasi
pembangunan jangka panjang dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Transformasi struktural juga harus bisa
mengubah perekonomian berbiaya mahal jadi efisien. Dengan begitu, negara akan mampu
menciptakan ekosistem perekonomian nasional yang bisa menciptakan daya inovasi
dan melahirkan apa yang disebut grassroots
innovator.
Transformasi struktural juga diharapkan mampu
membangun perekonomian yang tidak hanya di kota, tetapi juga mampu menstimulus
pertumbuhan dari pinggiran, seperti daerah pedesaan dan sumber daya maritim
kita.
Penulis
yakin, kepemimpinan yang tegas dengan visi yang jelas akan mampu mendobrak
kusutnya darurat ketimpangan ekonomi ini. Dibutuhkan nyali yang kuat dan nurani
yang bersih untuk menjalaninya.
MOHAMAD
SOHIBUL IMAN
PRESIDEN
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS)
Dimuat
di harian Kompas, Selasa, 16 Februari 2016
Post a Comment